Motivasi Menulis

Folklor: Ungkapan Tradisional

Folklor: Ungkapan Tradisional - Suatu ungkapan tradisional adalah milik suatu kelompok, namun yang menguasai secara aktif hanya beberapa orang saja. Ungkapan tradisional digolongkan menjadi dua: pewaris pasif dan pewaris aktif. Pewaris pasif adalah pewaris folklor yang sekadar mengetahui dan menikmati suatu bentuk folklor, namun tidak menyebarkannya secara aktif pada orang lain. Kebanyakan orang adalah pewaris pasif, misalkan pewaris pasif wayang golek adalah orang Sunda, pewaris aktifnya adalah para dalang dan para ahli pewayangan di Sunda.

Keadaan yang sama berlaku bagi orang-orang yang mengetahui peribahasa atau ungkapan tradisional lainnya, pewaris aktifnya selalu merupakan golongan minoritas. Hal tersebut disebabkan orang yang dapat menghafal suatu kumpulan peribahasa dari folknya sangat sedikit, sedangkan kebanyakan orang yang lain dari folk yang sama hanya mengetahui dan tidak dapat membawakannya secara lengkap maupun tepat.

Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat dasar, (a) peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional, seperti misalnya busyet atau ajigile (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar, misalnya seperti katak yang congkak adalah peribahasa, tetapi seperti kodok yang sombong bukan peribahasa. Contoh lain adalah seperti Cina karam adalah peribahasa, namun seperti Cina kelelep bukan peribahasa; (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olahraga, dan sebagainya. Sebagai contoh ungkapan untuk iklan di berbagai media, seperti Suzuki inovasi tiada henti, dan Orang pintar minum tolak angin, tidak akan menjadi folklor karena akan cepat dilupakan orang, begitu tidak disiarkan di media lagi.

Peribahasa dibagi menjadi empat kelompok, yakni:
  • Peribahasa sesungguhnya (true proverb) adalah ungkapan tradisional yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.

1) Kalimatnya lengkap.
2) Bentuknya biasanya kurang mengalami perubahan.
3) Mengandung kebenaran atau kebijaksanaan.

Beberapa peribahasa dari golongan ini merupakan kalimat sederhana seperti: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Namun kebanyakan peribahasa yang se sungguh nya merupakan lukisan yang bersifat kiasan atau ibarat. Contohnya, lebih besar pasak daripada tiang, meng ibarat kan orang yang lebih besar pengeluaran dari pada peng hasilannya.

  • Peribahasa yang tidak lengkap (proverbial phrase), kalimatnya juga mempunyai sifat-sifat khas, seperti berikut.

1) Kalimatnya tidak lengkap.
2) Bentuknya sering berubah.
3) Jarang mengungkapkan kebijaksanaan.
4) Biasanya bersifat kiasan.

Contoh peribahasa semacam ini yang tidak mempunyai subjek antara lain: Terajuk kecewa, tersaukkan ikan suka, tersaukkan batang masam, yang mengibaratkan orang yang mau untung saja. Contoh peribahasa semacam ini yang tidak mempunyai kata kerja adalah: Dari Sabang sampai Merauke, yang mengibaratkan kesatuan wilayah Indonesia.

  • Peribahasa perumpamaan (proverbial comparison) adalah ungkapan tradisional, yang biasanya dimulai dengan kata-kata seperti atau bagai dan lain-lain. Contohnya antara lain, Seperti telur di ujung tanduk mengibaratkan suatu keadaan yang sangat gawat; Seperti belut pulang ke lumpur mengibaratkan orang yang pulang ke kampung halamannya lama sekali baru mau kembali ke kota; atau Bagai belut diregang (direntang) mengibaratkan orang yang sangat kurus.
  • Ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa adalah ungkapanungkapan yang dipergunakan untuk penghinaan, celetukan, atau suatu jawaban pendek, tajam, lucu, dan berupa peringatan yang dapat menyakitkan hati. Contoh celetukan yang berasal dari bahasa Betawi adalah kayak monyet kena trasi. Celetukan dimaksudkan untuk orang yang suka jahil, jika melihat wanita cantik sehingga membuat wanita cantik yang judes tidak senang dan lalu mengeluarkan ungkapan itu, yang dapat membuat laki-laki kurang ajar itu malu. Contoh untuk yang ketiga, yakni peringatan yang menyakitkan hati, adalah Ya, itu sih akal bulus!, berasal dari bahasa Betawi pula. Ungkapan ini dikeluarkan jika seorang mendengar orang lain yang mem bangga kan diri karena telah berhasil menipu kawannya sehingga ia merasa dirinya pandai. Akal bulus berarti akal yang buruk atau licik, yang harus mendapat celaan dan bukan pujian. Indonesia adalah bangsa yang kaya akan peribahasa. Akan tetapi, banyak di antara rakyatnya, terutama generasi muda, cenderung mengabaikan berbagai pelajaran mengenai peribahasa setempat. Menurut Anda, upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk mengobarkan semangat para remaja untuk mempelajari peribahasa daerah di sekitarnya.


Orang Bali memiliki klasifikasi peribahasa yang mandiri. Orang Bali membagi ungkapan tradisionalnya paling sedikit menjadi dua kategori: (1) sesongan yang menyerupai peribahasa sesungguhnya (2) sesenggakan yakni ungkapan pendek tepat serta mengandung kebenaran; dan (3) seloka, yakni kiasan atau ibarat. Selain itu terdapat peribahasa dari beberapa suku bangsa di Indonesia yang menunjukkan betapa kayanya folklor Nusantara.

Di Jawa misalnya ada peribahasa yang berlatar belakang cerita yang bersifat penjelasan terjadinya sesuatu. Salah satu peribahasa Sunda, berbunyi: Ngawur uyah ka sagara (menebarkan garam ke laut), yang berarti membantu yang tidak memerlukan atau melakukan pekerjaan yang sia-sia. Salah satu bentuk peribahasa yang berasal dari Minangkabau, berbunyi: Lapuk oleh kain sehelai. Peribahasa ini ditujukan bagi seorang laki-laki yang menikah hanya dengan seorang wanita. Konteks dari peribahasa ini berlatar dari masya rakat Minangkabau sewaktu masih bersifat feodal, yaitu seorang laki-laki dianggap kurang jantan jika hanya memiliki seorang istri.


Labels: antropologi

Thanks for reading Folklor: Ungkapan Tradisional . Please share...!

0 Komentar untuk "Folklor: Ungkapan Tradisional "

Back To Top