a.
Masa Sahabat
Fikih sebagai produk ijtihad mulai
muncul pada masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahrah,
secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh meskipun dalam
satu disiplin ilmu. Kemampuan mereka dalam bidang ini, disamping berakar dari
bimbingan Rasulullah SAW, juga kemampuan bahasa Arab mereka yang masih tinggi
dan jernih. Mereka, khususnya yang kemudian terkenal banyak melakukan ijtihad
di bidang hukum Islam, mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ (pembentukan hukum) dari Rasulullah SAW dan selalu
menyertainya dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa hukum yang dipecahkan
Rasulullah, sehingga mereka tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat
menangkap tujuan pembentukan hukumnya. Di samping itu, mereka adalah generasi
yang masih bersih dan kuat kemampuan Bahasa Arabnya sebagai bahasa Al-Qur’an.
Hal itu semua membuat mereka mampu memahami teks-teks Al-Qur’an dan melakukan qiyas (analogi) sebagai metode
pengembangan hukum lewat substansinya. Seperti disimpulkan Khudari Bik, ahli
Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap untuk
menghadapi perkembangan social yang menghendaki pemecahan hukum dengan
melakukan ijtihad meskipun kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum dirumuskan secara
tertulis. Dalam melakukan ijtihad, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab Abu
Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul-Qura Mekkah, mula-mula mereka
pelajari teks Al-Qur’an dan kemudian Sunnah Rasulullah. Jika hukumnya tidak
ditemukan dalam dua sumber tersebut, mereka melakukan ijtiahad, baik perorangan
atau dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan
mereka dikenal dengan ijma’ sahabat.
Disamping berijtihad dengan metode qiyas,
mereka berijtihad dengan metode istislah
yang didasarkan atas maslahah mursalah,
yaitu kemaslahatan yang tidak ada dalil secara khusus yang mendukung dan tidak
pula ada yang menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalnya
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah Al-Qur’an).
b. Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in
metode istinbat menjadi semakin jelas
dan meluas disebabkan tambah luasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang
mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn
al-Musayyab (15 H-94 H) di Madinah, dan ‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H) serta
Ibrahim Al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam berfatwa mereka merujuk kepada
Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah
mursalah. Pada masa ini, kata Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, terjadi perbedaan
pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah (dalil
hukum) dan perbedaan pendapat tentang ijma’ ahl al-Madinah (kesepakatan
penduduk Madinah) apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
c. Masa Imam-imam Mujathid Sebelum Imam Syafi’i
Metode ijtihad menjadi lebih jelas terjadi pada masa sesudah
tabi’in, yaitu periode para Imam Mujtahid sebelum Imam Muhammad bin Idris
al-Syafi’I (w. 204 H) pendiri mushab Syafi’i. dari ungkapan-ungkapan mereka dapat
diketahui metode istinbat mereka. Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150 H),
pendiri mashab Hnafi umpamanya seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah,
menjelaskan dasar-dasar istinbatnya, yaitu berpegang kepada kitabullah jika
tidak ditemukan di dalamnya ia berpegang kepada Sunnah Rasulullaikh. Ja tidak
didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat.
Jika mereka berbeda, ia akan memilih salh satu dari pendapat-pendapat itu
0 Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih"